Tujuh Sikap PBNU Soal Full Day School

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)‎ mencermati kebijakan tentang hari sekolah yang di dalamnya menetapkan lima hari sekolah atau 8 jam sehari, atau full day school.

Ketua PBNU Said Aqil Siroj mengatakan, pihaknya memiliki tujuh sikap menyikapi adanya kebijakan tersebut.  ‎Pertama, PBNU mengaku mendukung sepenuhnya pentingnya pendidikan karakter sebagaimana Nawacita untuk dilaksanakan dalam bentuk kebijakan-kebijakan kreatif, yang selaras dengan kearifan lokal yang tumbuh sesuai dengan kultur di masyarakat, sehingga tidak menimbulkan gejolak.

"Dalam hal ini, negara perlu mengarfirmasi usaha-usaha pembentukan karakter masyarakat tersebut. Pembentukan karakter dengan penambahan waktu atau jam sekolah merupakan dua hal berbeda. Pembentukan karakter tidak secara otomatis bisa dicapai dengan jalan menambahkan jam sekolah," ujar Said dalam konfrensi pers kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (15/6).

Kedua, dilihat dari perspektif regulasi, kebijakan baru 5 hari sekolah dan delapan jam belajar di sekolah bertentangan dengan Undang-undang (UU)‎ Pasal 51 UU Sisdiknas tentang Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah.

"Dengan demikian, kebijakan tersebut, tidak senapas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan untuk mengembangkan model pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah madrasah masing-masing," katanya.

Ketiga, lewat kajian mendalam dan pemantauan intensif yang PBNU lakukan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas sekolah belum siap dalam rangka menerima kebijakan lima hari sekolah dan delapan jam belajar itu.

"Kesiapan itu menyangkut banyak hal antara lain terkait fasilitas yang menunjang kebijakan itu," ungkapnya.

Keempat, alasan penerapan full day school yang didasarkan kepada asumsi karena anak-anak di kota seharian penuh ditinggalkan oleh orang tuanya. Sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam pergaulan bebas tidak sepenuhnya benar. Pasalnya pada kenyataanya kota-kota besar di Indonesia tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi, nilai-nilai, dan pendidikan agama yang sudah berlangsung selama ini.

Kelima, tidak semua orang tua peserta didik bekerja sehari penuh, utamanya mereka yang di pelosok bekerja sebagai petani dan nelayan yang separuh waktunya dalam sehari tetap bisa dipakai bersama-sama dengan putra-putri mereka. Kata Said, belajar tidak selalu identik dengan sekolah. Interaksi sosial peserta didik dengan lingkungan tempat tinggalnya juga bagian dari proses pendidikan karakter. Sehingga mereka tidak meninggalkan dari nilai-nilai adat, tradisi, dan kebiasaan yang sudah berkembang selama ini.

Keenam, tindakan menggeneralisir bahwa seluruh siswa mengalami masa-masa sendirian di tengah penantian terhadap orang tua mereka yang sedang bekerja adalah tidakan yang keliru. Jawaban ini beranjak dari realitas masyarakat urban dan perkoataan. Ungkap Said, asusmsi ini jelas berasal dari pemahaman yang keliru bahwa seluruh orang tua siswa adalah pekerja kantoran.

"Padahal, jumlah masyarakat perkotaan hanyalah sebagian saja. Sisanya adalah mereka yang bekerja di sektor informal seperti petani, pedagang, nelayan dan lain sebagainya," tuturnya.

Ketujuh, mengingat tingginya gejolak serta keresahan yang terjadi di masyarakat adanya full day school. Maka dengan ini PBNU meminta kepada Presiden untuk membatalkan kebijakan lima hari sekolah dan 8 jam belajar ini.(cr2/JPG).
SUMBER :jawapos.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.