Rencana Lima Hari Sekolah Belum Cocok Diterapkan di Daerah
Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tentang penerapan jam sekolah dinilai memberatkan di daerah. Itu terkait aturan belajar hanya lima hari, Senin sampai Jumat yang mulai berlaku pada tahun ajaran 2017-2018.
Kepala Sekolah SMP 1 Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Bangkit Riyowanto menilai, kebijakan ini belum pas apabila diterapkan di daerahnya. Sebab, hal itu akan bertentangan dengan kultur pendidikan informal dan keagamaan di luar sekolah, serta kondisi geografis di sekolah-sekolah terpencil.
"Kalau KBM lima hari kerja, Senin sampai Jumat, maka para siswa dan guru akan belajar dari pagi sampai sore hari. Hal ini menyulitkan para siswa yang rumahnya berada di dataran tinggi. Mereka akan sulit dalam akses transportasi yang sebagian besar masih menggunakan angkutan umum," ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, penerapan lima hari kerja ini juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran orang tua untuk uang saku anaknya. Sebab, kebutuhan asupan dari pagi sampai sore hari tentu membutuhkan tambahan biaya.
"Kalau warga yang kurang mampu, kasihan. Yang tadinya siang bisa pulang terus makan di rumah, sekarang makan siang di sekolah," kata dia.
Di sisi lain, menurutnya, kebijakan ini juga akan berbenturan dengan pendidikan moral dan keagamaan di luar sekolah atau di kampung-kampung. "Kultur kita kan, setelah pulang, sorenya anak-anak berangkat ke TPQ (Taman Pendidikan Quran) atau madrasah dinniyah. Sehingga, pendidikan moral di luar sekolah akan berkurang," ujar Bangkit.
Ia menuturkan, pembelajaran dari pagi sampai sore hari juga dinilai tidak efektif lantaran pengaruh stamina para siswa.
"Kalau sudah siang, mereka sudah loyo. Pembelajaran jadi tidak efektif. Takutnya ini juga akan mempengaruhi perkembangan mental para siswa ketika tumbuh dewasa. Tidak hanya para siswa, dengan jam kerja seperti ini, kondisi fisik guru juga menurun," tambahnya.
Saat ini saja, kata dia, para guru apabila ada jam tambahan baru bisa pulang jam 15.00 WIB. Jika kebijakan ini diterapkan, maka jam bertemu keluarga akan berkurang setiap harinya. (Hadiyan/yuz/JPG).
Kepala Sekolah SMP 1 Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Bangkit Riyowanto menilai, kebijakan ini belum pas apabila diterapkan di daerahnya. Sebab, hal itu akan bertentangan dengan kultur pendidikan informal dan keagamaan di luar sekolah, serta kondisi geografis di sekolah-sekolah terpencil.
"Kalau KBM lima hari kerja, Senin sampai Jumat, maka para siswa dan guru akan belajar dari pagi sampai sore hari. Hal ini menyulitkan para siswa yang rumahnya berada di dataran tinggi. Mereka akan sulit dalam akses transportasi yang sebagian besar masih menggunakan angkutan umum," ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, penerapan lima hari kerja ini juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran orang tua untuk uang saku anaknya. Sebab, kebutuhan asupan dari pagi sampai sore hari tentu membutuhkan tambahan biaya.
"Kalau warga yang kurang mampu, kasihan. Yang tadinya siang bisa pulang terus makan di rumah, sekarang makan siang di sekolah," kata dia.
Di sisi lain, menurutnya, kebijakan ini juga akan berbenturan dengan pendidikan moral dan keagamaan di luar sekolah atau di kampung-kampung. "Kultur kita kan, setelah pulang, sorenya anak-anak berangkat ke TPQ (Taman Pendidikan Quran) atau madrasah dinniyah. Sehingga, pendidikan moral di luar sekolah akan berkurang," ujar Bangkit.
Ia menuturkan, pembelajaran dari pagi sampai sore hari juga dinilai tidak efektif lantaran pengaruh stamina para siswa.
"Kalau sudah siang, mereka sudah loyo. Pembelajaran jadi tidak efektif. Takutnya ini juga akan mempengaruhi perkembangan mental para siswa ketika tumbuh dewasa. Tidak hanya para siswa, dengan jam kerja seperti ini, kondisi fisik guru juga menurun," tambahnya.
Saat ini saja, kata dia, para guru apabila ada jam tambahan baru bisa pulang jam 15.00 WIB. Jika kebijakan ini diterapkan, maka jam bertemu keluarga akan berkurang setiap harinya. (Hadiyan/yuz/JPG).
SUMBER :jawapos.com
Tidak ada komentar: