Unicef Gagas Edukasi Menstruasi lewat Komik
Menstruasi tidak hanya menjadi urusan pribadi perempuan. Lebih dari itu, menstruasi menjadi urusan semua orang. Sayang, tidak semua orang menyadari hal tersebut.
Reza Hendrawan, spesialis WASH (air, sanitasi, dan kebersihan) Unicef, mengungkapkan bahwa masih banyak pihak yang menganggap menstruasi sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Karena anggapan tabu itu pula, tidak sedikit anak-anak perempuan yang baru mengalami menstruasi mendapatkan informasi yang tidak tepat. Reza berkisah, pernah ada seorang anak yang baru mendapat menstruasi dan bercerita kepada ayahnya. Kebetulan ibunya sedang tidak ada. Bukannya memberikan informasi yang tepat kepada sang anak, ayahnya malah memberikan informasi yang ambigu.
”Ayahnya menyuruh anak perempuannya untuk membeli roti. Si anak pun akhirnya pergi membeli roti. Roti benar-benar roti untuk dimakan. Padahal, yang dimaksud roti itu adalah pembalut. Tapi, ayahnya merasa tabu untuk mengucapkan itu,” kata Reza kepada Jawa Pos saat ditemui di kantor Unicef, Jakarta.
Jangankan ayah, ibu pun tidak jarang kaget dan bingung saat anaknya mendapat menstruasi untuk kali pertama. Penyanyi dangdut Ikke Nurjanah mengalami sendiri. Ikke mengaku sempat merasa panik saat ditanya tentang menstruasi. ”Walaupun akan tahu anakku akan mens, pas dia bilang, ’Ma, aku mens,’ langsung deg! Hehehe,” kenang Ikke. Dia menambahkan, pendekatan personal itu harus dipahami. Bapak-bapak jangan ragu untuk bilang menstruasi adalah hal biasa, mama dulu begini. Bapak-bapak juga harus bersemangat dan bisa menjelaskan dengan santai. ”Mukanya yang tenang, Pak. Jangan stres,” ujar Ikke.
Ikke menilai, topik menstruasi penting dipahami laki-laki maupun perempuan agar dapat menciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung, ”Kuncinya adalah tidak apa-apa dan tidak tabu,” tambahnya lagi. Kata Reza, perasaan tabu dan mengganti istilah-istilah yang benar dengan istilah yang jadinya ambigu malah membuat anak bingung. Karena itu, dengan gagasan edukasi melalui komik, anak-anak dan tentunya orang tua diharapkan bisa lebih terbuka mengenai informasi terkait menstruasi.
Melalui komik, Unicef mengembangkan metode komunikasi yang efisien untuk para orang tua dan anak-anak. Komik itu dibuat dua sisi, yaitu anak lelaki dan anak perempuan berdasar diskusi fokus grup yang dilakukan dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Bandung dan Biak menjadi dua kota percontohan untuk program tersebut. Bandung mewakili kawasan kota, sedangkan Biak mewakili pedesaan.
Hadirnya komik juga diharapkan membantu orang tua yang tidak jarang merasa tabu membicarakan persoalan menstruasi dengan anaknya. Terlebih, sekarang ini usia anak-anak perempuan yang mendapatkan menstruasi pertama semakin muda. Itu menjadi tantangan tersendiri bagi para orang tua. Saat mereka belum menyiapkan diri memberikan edukasi, ternyata anak-anak mereka sudah mengalami menstruasi. Reza mengatakan, selama 3–4 tahun belakangan ini anak-anak dengan usia lebih dini sudah menstruasi. Pada saat yang sama, mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup. Padahal, itu merupakan instrumen penting untuk menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Berdasar studi Unicef pada 2015, ada empat dampak besar dari minimnya pengetahuan anak tentang seluk beluk menstruasi. Pertama, dampak kesehatan. Kata Reza, jika si anak tidak mengetahui kebersihan menstruasi, infeksi di area kewanitaan hingga kanker saluran kencing bisa terjadi. Kedua, dari sisi pendidikan, minimnya pengetauan soal menstruasi juga cukup berdampak. ”Satu dari enam anak perempuan memilih tidak masuk sekolah karena menstruasi. Ada yang tidak kuat menahan rasa nyeri. Ada yang takut di-bully anak-anak laki-laki,” sambung Reza.
Ketiga, yang tidak kalah hebat adalah dampak sosial dan lingkungan. Dampak sosial dari ketidaktahuan soal menstruasi adalah kepercayaan pada mitos-mitos turun-temurun yang kebenarannya diragukan. Keempat, dampak lingkungan, berdasar temuan di lapangan, anak-anak perempuan yang mengganti pembalut di sekolah memilih membuangnya ke kloset. ”Sehingga klosetnya mampet. Ini karena di kamar mandi sekolah tidak disediakan tempat sampah tertutup,” jelas dia.
Kasubbag Kesejahteraan Rakyat Pemkot Bandung Susi Darsiti membenarkan hal tersebut. Dia melihat sendiri bagaimana kondisi toilet di sekolah-sekolah dasar di Bandung. Menurut dia, saat memulai program fit for school atau yang diadaptasi menjadi program senyum pagi pada 2012, pihaknya kaget saat melihat toilet-toilet di sekolah. ”Belum ada toilet terpisah. Tidak juga disedikan tempat sampah tertutup. Beberapa kloset mampet karena anak-anak membuang pembalut ke kloset,” ungkap Susi.
Kejadian itu lantas membuat mata Susi terbelalak bahwa menstruasi bisa menjadi masalah serius. Di luar itu, dengan kondisi toilet yang jauh dari kata nyaman, anak-anak perempuan yang sedang menstruasi jadi enggan mengganti pembalut mereka di sekolah. Akhirnya, mereka bisa seharian menggunakan pembalut yang sama dan tidak tertutup kemungkinan untuk bocor ke seragam sekolah dan jadi bahan bully.
Melalui komik atraktif itu, Reza berharap kejadian-kejadian tidak mengenakan tersebut bisa dihilangkan. Komik itu berisi pengetahuan umum tentang menstruasi; apa yang harus dilakukan; cara menggunakan, membuang, dan mengganti pembalut; serta mitos-mitos yang disampaikan orang tua secara turun-temurun. ”Kami juga melengkapinya dengan komik untuk anak laki-laki. Isinya seputar menstruasi dan bagaimana mereka harus bereaksi saat ada teman yang sedang menstruasi. Ini untuk menghindari bullying,” tutur Reza.
Menurut Reza, media komik tersebut sangat efektif. Dari 60 persen anak laki-laki yang paham bahwa menstruasi adalah hal normal, setelah membaca komik tersebut, jumlahnya meningkat signifikan menjadi 90 persen. Untuk anak perempuan pun, komik tersebut sangat membantu. ”Sebelumnya, 33 persen anak perempuan mengira menstruasi itu penyakit. Setelah membaca komik, jumlahnya berkurng jadi 15 persen,” katanya. Komik tersebut akan didistribusikan ke 340 sekolah dasar yang menjadi model sekolah sehat Kementerian Kesehatan di seluruh Indonesia. Setiap sekolah akan menerima 100 eksemplar buku. Buku-buku tersebut rencananya didistribusikan pada Agustus, tepat saat tahun pelajaran baru dimulai.
Sebelumnya komik tersebut diujicobakan di Bandung dan Biak yang memang jadi pilot project. Ada dua versi dari komik edukasi itu. Yakni, versi kota yang dibuat untuk anak-anak sekolah di Bandung dan versi desa yang dibuat untuk anak-anak sekolah di Biak. Dua versi tersebut sengaja dibuat agar bisa diserap lebih baik oleh anak-anak itu. Saat uji coba di Bandung, Unicef berupaya memberikan desain komik khas anak-anak yang mudah dicerna. Namun, anak-anak tersebut mengaku kurang sreg dengan desain komik itu.
”Mereka bilang kok komiknya seperti anak-anak banget. Akhirnya kami coba buat yang sedikit kompleks dengan jalan cerita,” cerita Reza. Sebaliknya, saat anak-anak di Biak diberi komik yang lebih kompleks, mereka agak kebingungan untuk mencerna substansi dari komik tersebut. Akhirnya disepakatilah dua versi dari komik yang tujuannya sama-sama memberikan edukasi soal menstruasi itu. (and/c10/oki).
Reza Hendrawan, spesialis WASH (air, sanitasi, dan kebersihan) Unicef, mengungkapkan bahwa masih banyak pihak yang menganggap menstruasi sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Karena anggapan tabu itu pula, tidak sedikit anak-anak perempuan yang baru mengalami menstruasi mendapatkan informasi yang tidak tepat. Reza berkisah, pernah ada seorang anak yang baru mendapat menstruasi dan bercerita kepada ayahnya. Kebetulan ibunya sedang tidak ada. Bukannya memberikan informasi yang tepat kepada sang anak, ayahnya malah memberikan informasi yang ambigu.
”Ayahnya menyuruh anak perempuannya untuk membeli roti. Si anak pun akhirnya pergi membeli roti. Roti benar-benar roti untuk dimakan. Padahal, yang dimaksud roti itu adalah pembalut. Tapi, ayahnya merasa tabu untuk mengucapkan itu,” kata Reza kepada Jawa Pos saat ditemui di kantor Unicef, Jakarta.
Jangankan ayah, ibu pun tidak jarang kaget dan bingung saat anaknya mendapat menstruasi untuk kali pertama. Penyanyi dangdut Ikke Nurjanah mengalami sendiri. Ikke mengaku sempat merasa panik saat ditanya tentang menstruasi. ”Walaupun akan tahu anakku akan mens, pas dia bilang, ’Ma, aku mens,’ langsung deg! Hehehe,” kenang Ikke. Dia menambahkan, pendekatan personal itu harus dipahami. Bapak-bapak jangan ragu untuk bilang menstruasi adalah hal biasa, mama dulu begini. Bapak-bapak juga harus bersemangat dan bisa menjelaskan dengan santai. ”Mukanya yang tenang, Pak. Jangan stres,” ujar Ikke.
Ikke menilai, topik menstruasi penting dipahami laki-laki maupun perempuan agar dapat menciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung, ”Kuncinya adalah tidak apa-apa dan tidak tabu,” tambahnya lagi. Kata Reza, perasaan tabu dan mengganti istilah-istilah yang benar dengan istilah yang jadinya ambigu malah membuat anak bingung. Karena itu, dengan gagasan edukasi melalui komik, anak-anak dan tentunya orang tua diharapkan bisa lebih terbuka mengenai informasi terkait menstruasi.
Melalui komik, Unicef mengembangkan metode komunikasi yang efisien untuk para orang tua dan anak-anak. Komik itu dibuat dua sisi, yaitu anak lelaki dan anak perempuan berdasar diskusi fokus grup yang dilakukan dengan anak-anak, guru, dan orang tua. Bandung dan Biak menjadi dua kota percontohan untuk program tersebut. Bandung mewakili kawasan kota, sedangkan Biak mewakili pedesaan.
Hadirnya komik juga diharapkan membantu orang tua yang tidak jarang merasa tabu membicarakan persoalan menstruasi dengan anaknya. Terlebih, sekarang ini usia anak-anak perempuan yang mendapatkan menstruasi pertama semakin muda. Itu menjadi tantangan tersendiri bagi para orang tua. Saat mereka belum menyiapkan diri memberikan edukasi, ternyata anak-anak mereka sudah mengalami menstruasi. Reza mengatakan, selama 3–4 tahun belakangan ini anak-anak dengan usia lebih dini sudah menstruasi. Pada saat yang sama, mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup. Padahal, itu merupakan instrumen penting untuk menjaga kesehatan tubuh secara keseluruhan.
Berdasar studi Unicef pada 2015, ada empat dampak besar dari minimnya pengetahuan anak tentang seluk beluk menstruasi. Pertama, dampak kesehatan. Kata Reza, jika si anak tidak mengetahui kebersihan menstruasi, infeksi di area kewanitaan hingga kanker saluran kencing bisa terjadi. Kedua, dari sisi pendidikan, minimnya pengetauan soal menstruasi juga cukup berdampak. ”Satu dari enam anak perempuan memilih tidak masuk sekolah karena menstruasi. Ada yang tidak kuat menahan rasa nyeri. Ada yang takut di-bully anak-anak laki-laki,” sambung Reza.
Ketiga, yang tidak kalah hebat adalah dampak sosial dan lingkungan. Dampak sosial dari ketidaktahuan soal menstruasi adalah kepercayaan pada mitos-mitos turun-temurun yang kebenarannya diragukan. Keempat, dampak lingkungan, berdasar temuan di lapangan, anak-anak perempuan yang mengganti pembalut di sekolah memilih membuangnya ke kloset. ”Sehingga klosetnya mampet. Ini karena di kamar mandi sekolah tidak disediakan tempat sampah tertutup,” jelas dia.
Kasubbag Kesejahteraan Rakyat Pemkot Bandung Susi Darsiti membenarkan hal tersebut. Dia melihat sendiri bagaimana kondisi toilet di sekolah-sekolah dasar di Bandung. Menurut dia, saat memulai program fit for school atau yang diadaptasi menjadi program senyum pagi pada 2012, pihaknya kaget saat melihat toilet-toilet di sekolah. ”Belum ada toilet terpisah. Tidak juga disedikan tempat sampah tertutup. Beberapa kloset mampet karena anak-anak membuang pembalut ke kloset,” ungkap Susi.
Kejadian itu lantas membuat mata Susi terbelalak bahwa menstruasi bisa menjadi masalah serius. Di luar itu, dengan kondisi toilet yang jauh dari kata nyaman, anak-anak perempuan yang sedang menstruasi jadi enggan mengganti pembalut mereka di sekolah. Akhirnya, mereka bisa seharian menggunakan pembalut yang sama dan tidak tertutup kemungkinan untuk bocor ke seragam sekolah dan jadi bahan bully.
Melalui komik atraktif itu, Reza berharap kejadian-kejadian tidak mengenakan tersebut bisa dihilangkan. Komik itu berisi pengetahuan umum tentang menstruasi; apa yang harus dilakukan; cara menggunakan, membuang, dan mengganti pembalut; serta mitos-mitos yang disampaikan orang tua secara turun-temurun. ”Kami juga melengkapinya dengan komik untuk anak laki-laki. Isinya seputar menstruasi dan bagaimana mereka harus bereaksi saat ada teman yang sedang menstruasi. Ini untuk menghindari bullying,” tutur Reza.
Menurut Reza, media komik tersebut sangat efektif. Dari 60 persen anak laki-laki yang paham bahwa menstruasi adalah hal normal, setelah membaca komik tersebut, jumlahnya meningkat signifikan menjadi 90 persen. Untuk anak perempuan pun, komik tersebut sangat membantu. ”Sebelumnya, 33 persen anak perempuan mengira menstruasi itu penyakit. Setelah membaca komik, jumlahnya berkurng jadi 15 persen,” katanya. Komik tersebut akan didistribusikan ke 340 sekolah dasar yang menjadi model sekolah sehat Kementerian Kesehatan di seluruh Indonesia. Setiap sekolah akan menerima 100 eksemplar buku. Buku-buku tersebut rencananya didistribusikan pada Agustus, tepat saat tahun pelajaran baru dimulai.
Sebelumnya komik tersebut diujicobakan di Bandung dan Biak yang memang jadi pilot project. Ada dua versi dari komik edukasi itu. Yakni, versi kota yang dibuat untuk anak-anak sekolah di Bandung dan versi desa yang dibuat untuk anak-anak sekolah di Biak. Dua versi tersebut sengaja dibuat agar bisa diserap lebih baik oleh anak-anak itu. Saat uji coba di Bandung, Unicef berupaya memberikan desain komik khas anak-anak yang mudah dicerna. Namun, anak-anak tersebut mengaku kurang sreg dengan desain komik itu.
”Mereka bilang kok komiknya seperti anak-anak banget. Akhirnya kami coba buat yang sedikit kompleks dengan jalan cerita,” cerita Reza. Sebaliknya, saat anak-anak di Biak diberi komik yang lebih kompleks, mereka agak kebingungan untuk mencerna substansi dari komik tersebut. Akhirnya disepakatilah dua versi dari komik yang tujuannya sama-sama memberikan edukasi soal menstruasi itu. (and/c10/oki).
SUMBER :jawapos.com
Tidak ada komentar: