Setelah DPR, Giliran KPAI Kritik Kebijakan Mendikbud Soal Jam Sekolah

Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang akan membuat seluruh jam sekolah menjadi seragam yakni 5 hari 8 jam belajar di sekolah, banyak menuai kritik. Setelah sebelumnya dikritik pihak DPR, kini giliran pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ikut angkat bicara.

Wakil Ketua KPAI Susanto menilai, dewasa ini pendidikan di seluruh dunia terus mengalami pengembangan sistem layanan pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman. Dalam tatanan dunia baru yang ditandai dengan persaingan antar bangsa yang semakin ketat, menurutnya. kualitas sumber daya manusia suatu bangsa memainkan peran yang amat penting. Konsekuensinya, pembangunan pendidikan yang berkualitas, merupakan kebutuhan mutlak bagi suatu negara untuk dapat berperan penting dalam percaturan global, tanpa menghilangkan kekhasan suatu bangsa. Ciri khas suatu bangsa perlu dirawat dan dikembangkan melalui pendidikan, agar kelak generasi bangsa tak tercerabut dari akar kebangsaannya.

Susanto menambahkan setiap rezim di negeri ini pasti memiliki kebijakan baru terhadap sistem pendidikan. Perubahan kebijakan pendidikan nasional terus berubah. Karena itu Susanto melontarkan lima catatan penting untuk merespons kebijakan Mendikbud.

“Memang, perbaikan sistem pendidikan merupakan hal yang tak terhindarkan, sepanjang memiliki basis ilmiah yang kuat dan bukan semata ‘game politic’ tetapi berlandaskan ‘politik pendidikan’ yang kuat dalam koridor arsitektur pendidikan nasional jangka panjang,” terangnya dalam keterangan tertulis kepada JawaPos.com, Senin (12/6).

Adapun lima catatan penting tersebut yakni:

1. Indonesia membutuhkan arsitektur sistem pendidikan yang berorientasi jangka panjang. Bagaimana performa pendidikan 50 hingga 100 tahun ke depan, harus dirumuskan, bukan setiap berganti Menteri Pendidikan, kebijakan pendidikan kemudian berganti pula. Jika hal ini terjadi, pendidikan hanya sekedar ditempatkan sebagai uji coba atau bisa jadi sekedar game politik. Jika hal ini terjadi, dampaknya bukan hanya bagi masa depan generasi, namun bagi peradaban bahkan nasib bangsa puluhan hingga ratusan tahun ke depan.

2. Dilihat dari perspektif regulasi, kebijakan baru 5 hari 8 jam belajar di sekolah bertentangan dengan undang-undang. Pasal 51 UU Sisdiknas “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Dengan demikian, kebijakan tersebut, tidak senafas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah/madrasah masing-masing.  Apalagi jika berkaca terhadap ketentuan waktu kerja guru diatur dalam Pasal 35 UU Guru dan Dosen. Pasal 35 ayat (1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. (2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Tentu kebijakan baru 5 hari /8 jam belajar di sekolah berpotensi besar, guru melampaui jumlah jam mengajar di sekolah yang telah diatur dalam UU dimaksud.

3. Dilihat dari perspektif sosio-kultural, kebijakan baru 5 hari 8 jam belajar di sekolah tidak senafas dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan multikultur. Indonesia itu bukan kota, tetapi sangat beragam. Seyogyanya, dengan keragaman yang ada, sistem pendidikan harus relevan bukan justru bertentangan dengan potret faktual sosio-kultural masyarakat. Semangat besar Presiden untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah harus didukung dan dirumuskan agar arsitektur pendidikan masa depan yang berorientasi jangka panjang, khas dan menjawab masyarakat yang bineka dalam segala hal. Namun solusinya bukan menambah jumlah jam belajar di sekolah.

4. Dilihat dari peta kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan, kebijakan baru 5 hari 8 jam belajar di sekolah merupakan sistem layanan pendidikan yang menjawab kebutuhan kelas sosial tertentu, terutama kelompok masyarakat urban. Berikan kebebasan kepada satuan pendidikan yang memilih model tersebut, untuk memenuhi kelompok masyarakat tertentu, namun bukan memaksakan model tersebut direalisasikan untuk semua satuan pendidikan di Indonesia. Jika hal ini terjadi, justru merupakan bentuk degradasi sistem pendidikan nasional.

5. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Mendikbud agar mengaji ulang kebijakan baru dimaksud. Membangun sistem pendidikan harus holistik yang meniscayakan 3 hal penting; (a), memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah, (b), memperkuat peran keluarga dalam pengasuhan/pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta (c), memperkuat keterlibatan masyarakat. Semakin kompleksnya anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kurangnya jam belajar di sekolah, tetapi layanan pendidikan di sekolah yang perlu dievaluasi, peran keluarga yang perlu dikuatkan, keterlibatan lingkungan sosial yang perlu dipastikan. (cr1/JPG).
SUMBER :jawapos.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.