Zonasi PPDB, SMA Terapkan Kuota 10 Persen, SMK tanpa Batasan

Mekanisme penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA/SMK di Jawa Timur akan dibuat mirip seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBM PTN). Yakni, berada dalam jaringan terpadu pada satu laman online. Dengan demikian, siswa cukup mendaftar secara online.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rachman mengatakan, proses seleksi diupayakan di masing-masing daerah. Siswa luar kota yang akan mendaftar sekolah di kota lain bisa ikut mendaftar. Jika sudah diterima, siswa bisa datang ke sekolah yang dituju.

Meski begitu, sistem PPDB antara jenjang SMA dan SMK berbeda. Jenjang SMA menerapkan zonasi dan memiliki batasan kuota 10 persen untuk siswa antarkabupaten/kota. Sebaliknya, untuk jenjang SMK, tidak ada sistem zonasi. Batasan kuota siswa luar daerah pun ditiadakan.

Zonasi masuk SMA negeri di tiap kabupaten/kota bisa berbeda-beda. Surabaya, misalnya, memiliki lima zona. Yakni, timur, barat, utara, selatan, dan pusat. Setiap siswa bisa memilih dua sekolah. ”Pilihan pertama di dalam zona, pilihan kedua di luar zona,” terangnya. Prioritasnya, lanjut dia, adalah dalam satu zona berdasar tempat tinggal dan asal sekolah.

Sementara itu, untuk SMK, ada beberapa tahapan seleksi yang harus diikuti calon siswa. Yakni, tes potensi akademik (TPA), tes fisik, hingga tes kesehatan. Upaya itu dilakukan untuk menyeleksi siswa yang benar-benar tangguh. Sebab, mereka dipersiapkan atau berorientasi pada dunia kerja. Perusahaan membutuhkan anak yang sehat. Perusahaan juga membutuhkan anak yang tangguh di dunia kerja. Tidak mudah mengantuk, tidak mengonsumsi narkoba, dan memiliki kemauan belajar yang baik.

Terkait tes, kata Saiful, setiap jurusan menetapkan kriteria siswa yang berbeda. Ada yang berkaitan dengan zat-zat kimia, ketelitian, fisik yang prima, dan lain-lain. Karena itu, dibutuhkan tes fisik maupun tes kesehatan.

Selain tanpa zona, di SMK tidak ada kuota untuk siswa luar daerah. Alasannya, tidak semua daerah memiliki program keahlian atau jurusan seperti yang diinginkan lulusan SMP. Saiful menyebutkan, mobilitas mendaftar ke SMK juga tidak sama dengan SMA. Tidak semua daerah memiliki SMK jurusan pedalangan, perkapalan, atau jurusan lain yang spesifik. ”Kalau daerah tidak ada jurusan perkapalan, bisa ke daerah lain,” jelasnya. Untuk masuk SMK, siswa bisa memilih dua jurusan. Bisa di satu sekolah yang sama, bisa juga di sekolah berbeda.

Nilai ujian nasional, kata Saiful, tetap digunakan dalam seleksi. Hanya, ujian nasional berbasis komputer (UNBK) dan ujian nasional berbasis kertas dan pensil (UNKP) memiliki bobot berbeda. ”Bobotnya lebih tinggi UNBK,” ungkapnya. Setelah disaring melalui nilai unas, siswa bisa mengikuti TPA, tes kesehatan, dan tes fisik. Saiful mengakui, dalam penerapan kebijakan itu ada tantangannya. Ada sebagian masyarakat yang kurang sepakat. Namun, Saiful menilai kebijakan tersebut ditetapkan untuk memotivasi daerah. Tujuannya, daerah menerapkan UNBK yang lebih berintegritas. ”Prioritas memang UNBK,” tegasnya.

PPDB untuk SMA/SMK dilaksanakan pada pertengahan Juni. Pendaftarannya menggunakan media dalam jaringan terpadu. Saat ini payung hukum tentang PPDB itu sedang digodok. ”Akan ada pergub (peraturan gubernur) dan juknisnya, sudah kami usulkan,” jelasnya.

Keputusan Dispendik Jatim menetapkan sistem PPDB zonasi tersebut mendapat tanggapan dari siswa SMP. Misalnya, yang dituturkan Rizky Sadam Bagaswara. Siswa SMPN 22 itu menyayangkan sikap dispendik yang sangat membatasi hak siswa untuk memilih sekolah. ”Saya keberatan dengan sistem zonasi,” katanya.

Selain membatasi pilihan, sistem zonasi memicu persaingan yang tidak fair. Sebab, sistem tersebut bisa jadi hanya menguntungkan siswa yang berdomisili di pusat kota. Siswa yang tinggal di pinggiran kota tidak akan mendapat banyak pilihan sekolah.

Dia mencontohkan siswa yang akan memilih SMAN 5 Surabaya. Ada dua siswa yang mendaftar di sekolah tersebut dengan nilai rata-rata unas sama. Karena siswa A berdomisili di zona selatan, dia pun dicoret. Sedangkan siswa B yang bertempat tinggal di zona pusat bisa diterima. ”Ini tentu kurang fair,” ulang siswa kelas IX B itu.

Sadam menginginkan sistem zonasi tersebut tetap ditentukan dengan sistem TPA. Dengan sistem tes, siswa yang lolos maupun tidak lolos menjadi lebih lega. Melalui seleksi tersebut, penerimaan siswa berjalan lebih adil. ”Untuk itu, sistem TPA ini harus ada. Bukan dihilangkan,” terangnya.

Pernyataan senada disampaikan Iqbal Z. Qozi. Siswa SMPN 39 itu menilai sistem tes ulang menggunakan pendekatan kemampuan dasar sangat penting. Alasannya, sistem tersebut bisa menentukan siapa yang layak diterima.

Saat ditanya mengenai mekanisme PPDB zonasi, Iqbal mengaku belum begitu paham. Dia hanya mengetahui informasi sistem PPDB zonasi dari media cetak. ”Di koran dijelaskan bahwa sistem PPDB zonasi diterapkan atas dasar pertimbangan wilayah,” terangnya kepada Jawa Pos kemarin (8/5). Namun, dia belum mengetahui apakah siswa yang memilih di luar zona mendapatkan kuota atau tidak. Jika ada, dia pun sepakat sistem tersebut diterapkan. Namun, jika dibatasi per zona, Iqbal merasa keberatan. ”Soalnya saya sudah punya sekolah tujuan. Lokasinya di luar zona wilayah rumah saya,” terangnya. (puj/elo/c7/oni/sep/JPG)
SUMBER :jawapos.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.