Kala Mahasiswa Psikologi UKWMS Berbaur dengan Warga Desa di Blitar

Sebagai agent of change, mahasiswa biasanya harus bisa dekat dengan masyarakat. Mereka terbiasa melakukan penelitian lapangan di daerah yang berbeda 180 derajat dibanding kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali, seperti yang dikerjakan oleh 60 mahasiswa psikologi Universitas Katolik Widya Mandala yang menyambangi desa Gogodeso di Kccamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Begini ceritanya....

DIDA TENOLA, Blitar

Suasana di pelataran Stasiun Garum Blitar mulai dipadati kendaraan bermotor. Baik penjemput pribadi, tukang ojek, sampai angkutan pedesaan. Mereka bersiap menanti penumpang yang naik rangkaian kereta api Penataran dari Surabaya.

Kamis sore (11/5), matahari perlahan-lahan mulai kembali ke peraduannya. Sinar senja menyembul dari balik awan. Si ular besi yang seharusnya dijadwalkan tiba pukul 16.43 sedikit lebih molor. Baru sekitar setengah jam kemudian kereta itu datang. Roda-roda besinya menapak rel stasiun yang memiliki ketinggian +244 meter itu.

Begitu tiba, sebuah rombongan besar terlihat berduyun-duyun turun dari atas kereta. Rata-rata mereka menjinjing tas ransel. Dari penampilan dan barang bawaannya, orang sudah bisa menebak bahwa mereka adalah mahasiswa. Mereka memang mahasiswa Psikologi UWM yang akan praktik di Desa Gogodeso, yang lokasinya sekitar 45 menit perjalanan dari Stasiun Garum.

Setelah turun, yang mereka tuju adalah toilet stasiun. Mereka bergerombol, berebutan, mengantre gantian di sekitar kamar mandi. Hampir lima jam lamanya mereka menahan untuk buang air kecil sejak dari Surabaya. "Memang banyak anak-anak yang nahan pipis. Mereka nggak bisa pipis di toilet kereta api," cerita Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Sylvia Kurniawati Ngonde kepada JawaPos.com.

Saking nggak kuat menahan buang air kecil dan mengantre, sebagian di antara mereka juga ada yang mencari kamar mandi di minimarket setempat. Sekalian beli camilan. Sylvi, sapaan akrab Sylvia, melanjutkan, anak didiknya itu memang sedikit kaget saat tiba di Blitar. "Maklum saja, mereka kan terbiasa hidup nyaman di kota. Makanya kami datang ke sini, sekaligus buat pembelajaran hidup buat mereka," lanjutnya.

Mulai Kamis hingga Minggu, para mahasiswa itu akan hidup di desa. Suasana yang jelas kontras dengan kehidupan mereka di Kota Pahlawan. Jauh dari hingar bingar, polusi, sampai masyarakat desa yang ebih banyak menggunakan bahasa Jawa untuk bercakap-cakap.

Setelah dari stasiun, secara estafet, mereka menuju ke Balai Desa Gogodeso. Raut letih, kucel, dan lesu terlihat jelas di wajah para mahasiswa tersebut. Setibanya di Balai Desa, mereka langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh tuan rumah.

Sebuah menu soto ayam yang tidak mewah, ternyata tetap bisa menggugah selera makan anak-anak kota tersebut. Di Gogodeso, mereka akan mempelajari masalah Industri Kecil Menengah (IKM). "Yang dipelajari oleh mereka bukan teknis IKM itu. Soalnya basic kami kan bukan ekonomi. Jadi mereka akan mengamati psikologi kultural dari warga yang punya IKM," terang perempuan berusia 47 tahun tersebut.

Sylvi memaparkan, keberhasilan IKM tersebut tentu karena ada dukungan dari keluarga. Kebanyakan pelaku IKM di Gogodeso adalah perempuan. Nah, mahasiswa tersebut akan mencari tahu bagaimana kultur suami yang mendorong istrinya untuk bekerja.

Kepala Desa Gogodeso Khoirul Anam menjelaskan bahwa IKM yang ada di desa kebanyakan memproduksi jajanan. Seperti dodol, aneka macam keripik, wajik, sampai kue-kue yang biasa dipakai kudapan lebaran. Desa itu dibangung dengan konsep Argopolitan. "Jadi ada IKM yang sukses, maju, setengah sukses, sampai ada yang nggak jalan. Mahasiswa secara merata akan meninjau itu semua," terang pria yang sudah menjabat selama dua periode tersebut.

Para mahasiswa tersebut akan tinggal di rumah-rumah warga. Yang cowok, akan tinggal sendiri. Sedangkan yang cewek, ada dua orang yang tinggal serumah.

Dari sana lah mereka beradaptasi dengan lingkungan baru. Tentu ada cerita lucu, seru, sampai cerita sedih yang terjadi saat mahasiswa itu tinggal di rumah. Saat malam, penerangan di desa tidak seperti di kota. Beberapa mahasiswa sempat tidak terbiasa dengan hal itu. Ada yang minta tukar dengan temannya. Ada pula yang kembali ke Balai Desa, meminta kepada dosennya agar dipindah ke rumah lain. "Ini tadi ada yang sakit juga. Jadi akhirnya dipindah ke rumah Pak Lurah. Biar gampang mantaunya," kata Sylvi.

Tentunya tak mudah saat pertama kali tinggal menumpang di rumah orang lain. Seperti dua mahasiswi yakni Aprilinda Widjaja dan Sri Dewi Ayu Indah Lestari. Keduanya tinggal di rumah Anis Rohmawati, salah seorang warga yang sukses membuka sentra IKM bernama Anis Jaya.

April dan Ay, sapaan akrab dua mahasiswa itu, mengaku tidak ada masalah saat tidur di sana. Keduanya lantas mencoba beradaptasi. Begitu bangun pagi, mereka langsung membantu pegawai di sana. Mereka membungkus dodol.

Meski terlihat mudah, tangan-tangan mereka terlihat kaku pada awalnya. Sebelumnya mereka tidak pernah membuat, membungkus, bahkan memakan dodol. "Seru aja bisa bantu. Biar lebih cepet mas," kata April kepada JawaPos.com.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Ay. Anak kedua dari empat bersaudara itu mengaku sempat canggung tinggal di desa. Namun, dia senang bisa membiasakan diri. "Di sini IKMnya sudah maju. Bu Anis ramah orangnya, kami diajari," tuturnya.

Di rumah lain, dua mahasiswi Feibrychia Pingkan Magdalena dan Dwi Rosalina Putri sibuk membantu tuan rumah membuat pastel mini isi abon. Mereka baru pertama kali memegang adonan berbahan dasar tepung itu. Meskipun tangan mereka berminyak dan belepotan, tapi mereka mencoba membiasakan diri.

Cara kerjanya sebenarnya cukup gampang. Mereka tinggal menggiling adonan yang sudah dipotong tipis-tipis. Sisa bahan yang tidak tergiling dikumpulkan lagi dan dipipihkan lagi. "Lumayan bisa tahu cara bikin pastel. Nanti di Surabaya mau nyoba lagi, sapa tau juga bisa dijual," kata Feibry lantas tersenyum.

Bagi warga Gogodeso, kehadiran mahasiswa itu membuat mereka senang. Mahasiswa itu sudah seperti keluarga sendiri. Seperti yang dirasakan oleh Srikana. Saat malam pembagian kelompok, permpuan berusia 49 tahun itu sempat menangis haru. Maklum saja, baru genap 40 hari dia kehilangan anak semata wayangnya, Eko Prayitno.

Eko meninggal karena tersetrum aliran listrik saat membenarkan jemuran dengan pipa paralon. Begitu tahu mahasiswa yang akan tinggal di rumahnya cowok, tak terasa air matanya menetes. Beberapa warga lainnya terlihat menghiburnya saat berkumpul di Balai Desa. "Prawakannya sangat mirip sama dia (Eko, Red). Buat tombo ati mas," sebut perempuan yang bekerja di tempat pembuatan kue kering selama 14 tahun tersebut.

Mahasiswa yang tinggal di rumahnya adalah Hartadi Novisaputra. Tubuhnya yang tambun dan banyak makan itu memang mirip dengan Eko. Hap, sapaan akrab Hartadi, bahkan sempat dicurhati Srikana soal anak tunggalnya itu, "Iya, semalam diceritain sampai jam 01.00. Mudah-mudahan saya bisa bantu-bantu di sini," ungkap Hap.

Meskipun lebih sepi dari kota, di Desa Gogodeso itu para mahasiswa itu mencoba menempatkan diri dengan baik. Mereka makan dengan menu seadanya ala pedesaan. Tempe, tahu, dan sayuran secukupnya sudah bisa membuat mereka kenyang. Sekembalinya ke Surabaya, mereka akan merindukan kebersamaan dengan warga tersebut.

Seperti Hap, yang diperlakukan seperti anak sendiri, momen itu tak akan bisa dilupakan. "Nanti kalau sempat saya mau kembali ke sini lagi untuk ketemu ibu (Srikana, Red)," ucapnya sambil memandang Srikana. (*)
SUMBER :jawapos.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.