Agar Anak Tak Alami Keterlambatan Bicara
Gerakannya lincah. Pertambahan berat dan tingginya pun sesuai dengan usia. Rapor pemeriksaan rutinnya juga positif. Namun, ketika diajak mengobrol, si kecil sulit menanggapi. Irit betul dalam mengucapkan kata hingga bisa disebut nyaris tidak mau bicara.
Gangguan yang umum disebut speech delay atau keterlambatan bicara memang sedang menjadi perbincangan hangat. Salah satu penyebabnya adalah gawai, baik televisi, tablet, maupun smartphone. Awal bulan ini, tim pediatri Hospital for Sick Children, Kanada, merilis hasil studi yang terbilang kontroversial.
’’Setiap 30 menit di depan layar gawai, risiko mengalami keterlambatan bicara naik hingga 49 persen. Namun, hal itu tidak berpengaruh pada kemampuan menggunakan bahasa tubuh dan gestur,’’ papar mereka dalam jurnal yang dipresentasikan di Pediatric Academic Societies tersebut. Hal itu juga dikuatkan dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics yang melarang penggunaan gawai bagi anak berusia kurang dari 18 bulan.
Namun, gawai tidak lantas menjadi tersangka tunggal. Menurut dr Irma Lestari Paramastuty SpA MBiomed, jika digunakan dengan pas, gawai sebetulnya bisa jadi media belajar yang variatif dan menyenangkan buat anak. ’’Yang perlu diperhatikan, batita perlu dapat pendampingan saat pakai gawai meski yang dia tonton adalah program khusus anak seusianya,’’ tegasnya.
Spesialis anak yang berpraktik di RS Katolik St Vincentius a Paulo Surabaya itu menjelaskan, ketika menggunakan gawai, anak tidak melakukan komunikasi. ’’Mereka cuma mengamati tokoh atau kartun yang ngomong. Nah, ibu, ayah, atau pengasuh bisa mengajak anak tanya jawab terkait dengan apa yang dia tonton,’’ tutur Irma.
Tindakan tersebut bisa dilakukan, bahkan saat si kecil belum bisa bertutur. Dia mengungkapkan bahwa kemampuan berbicara berhubungan dengan input dan output. ’’Sejak kecil, anak dikudang dan mendengar dari lingkungan sekitar. Pasa usia 3–6 bulan, biasanya mereka bakal mulai bersuara,’’ ujar Irma.
Tandanya, si kecil mulai berteriak dan cooing (mengeluarkan suara secara random). Tahap berbicara, lanjutnya, dimulai pada usia 9–12 bulan. Tidak ada patokan pasti tentang usia si kecil mampu bertutur. ’’Selama pendengaran baik dan tidak ada gangguan di otak, si kecil biasanya bakal secara alami ngomong. Yang penting, ada stimulus,’’ kata alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis FK UB Malang tersebut.
Stimulus itu berupa pertanyaan, kebiasaan bernyanyi, serta interaksi dengan orang tua. Makin sering berinteraksi langsung, anak akan makin lancar bertutur. Hal tersebut ditekankan dr Lisna Aniek Farida SpKFR. Spesialis rehab medik RS Husada Utama Surabaya itu menyatakan bahwa komunikasi langsung tidak hanya mendorong si kecil berbicara. ’’Gerak bibir dan bunyi yang dihasilkan juga diamati. Makanya, saat ngobrol dengan si kecil, upayakan bicara yang jelas. Soalnya, hal itu akan ditiru anak,’’ ungkapnya.
Lisna menuturkan, ketika si kecil masuk usia berbicara, orang tua harus aktif mengajak anak berkomunikasi. Saat jalan-jalan, ajak mereka ngobrol tentang sekitarnya. Bangun suasana yang nyaman sehingga anak tidak takut berbicara. ’’Saat bicara, tatap mata mereka, pakai volume, dan nada bicara yang normal,’’ jelas Lisna.
Menurut dia, orang tua maupun pengasuh tidak perlu menggunakan bahasa bayi. Dia menambahkan bahwa terbiasa dengan pengucapan yang disingkat dan dibuat lucu bakal membuat gaya bicara si kecil terpengaruh. ’’Anak akan beranggapan hal itu normal dan bisa terbawa hingga dia besar,’’ tandasnya. (fam/c14/ayi)
SUMBER :jawapos.com
Gangguan yang umum disebut speech delay atau keterlambatan bicara memang sedang menjadi perbincangan hangat. Salah satu penyebabnya adalah gawai, baik televisi, tablet, maupun smartphone. Awal bulan ini, tim pediatri Hospital for Sick Children, Kanada, merilis hasil studi yang terbilang kontroversial.
’’Setiap 30 menit di depan layar gawai, risiko mengalami keterlambatan bicara naik hingga 49 persen. Namun, hal itu tidak berpengaruh pada kemampuan menggunakan bahasa tubuh dan gestur,’’ papar mereka dalam jurnal yang dipresentasikan di Pediatric Academic Societies tersebut. Hal itu juga dikuatkan dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics yang melarang penggunaan gawai bagi anak berusia kurang dari 18 bulan.
Namun, gawai tidak lantas menjadi tersangka tunggal. Menurut dr Irma Lestari Paramastuty SpA MBiomed, jika digunakan dengan pas, gawai sebetulnya bisa jadi media belajar yang variatif dan menyenangkan buat anak. ’’Yang perlu diperhatikan, batita perlu dapat pendampingan saat pakai gawai meski yang dia tonton adalah program khusus anak seusianya,’’ tegasnya.
Spesialis anak yang berpraktik di RS Katolik St Vincentius a Paulo Surabaya itu menjelaskan, ketika menggunakan gawai, anak tidak melakukan komunikasi. ’’Mereka cuma mengamati tokoh atau kartun yang ngomong. Nah, ibu, ayah, atau pengasuh bisa mengajak anak tanya jawab terkait dengan apa yang dia tonton,’’ tutur Irma.
Tindakan tersebut bisa dilakukan, bahkan saat si kecil belum bisa bertutur. Dia mengungkapkan bahwa kemampuan berbicara berhubungan dengan input dan output. ’’Sejak kecil, anak dikudang dan mendengar dari lingkungan sekitar. Pasa usia 3–6 bulan, biasanya mereka bakal mulai bersuara,’’ ujar Irma.
Tandanya, si kecil mulai berteriak dan cooing (mengeluarkan suara secara random). Tahap berbicara, lanjutnya, dimulai pada usia 9–12 bulan. Tidak ada patokan pasti tentang usia si kecil mampu bertutur. ’’Selama pendengaran baik dan tidak ada gangguan di otak, si kecil biasanya bakal secara alami ngomong. Yang penting, ada stimulus,’’ kata alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis FK UB Malang tersebut.
Stimulus itu berupa pertanyaan, kebiasaan bernyanyi, serta interaksi dengan orang tua. Makin sering berinteraksi langsung, anak akan makin lancar bertutur. Hal tersebut ditekankan dr Lisna Aniek Farida SpKFR. Spesialis rehab medik RS Husada Utama Surabaya itu menyatakan bahwa komunikasi langsung tidak hanya mendorong si kecil berbicara. ’’Gerak bibir dan bunyi yang dihasilkan juga diamati. Makanya, saat ngobrol dengan si kecil, upayakan bicara yang jelas. Soalnya, hal itu akan ditiru anak,’’ ungkapnya.
Lisna menuturkan, ketika si kecil masuk usia berbicara, orang tua harus aktif mengajak anak berkomunikasi. Saat jalan-jalan, ajak mereka ngobrol tentang sekitarnya. Bangun suasana yang nyaman sehingga anak tidak takut berbicara. ’’Saat bicara, tatap mata mereka, pakai volume, dan nada bicara yang normal,’’ jelas Lisna.
Menurut dia, orang tua maupun pengasuh tidak perlu menggunakan bahasa bayi. Dia menambahkan bahwa terbiasa dengan pengucapan yang disingkat dan dibuat lucu bakal membuat gaya bicara si kecil terpengaruh. ’’Anak akan beranggapan hal itu normal dan bisa terbawa hingga dia besar,’’ tandasnya. (fam/c14/ayi)
SUMBER :jawapos.com
Tidak ada komentar: