Waspadai Hipertensi Paru yang Gejalanya Tak Terlihat
Setiap 5 Mei diperingati sebagai Hari Hipertensi Paru Sedunia. Namun, belum banyak masyarakat yang mengenal apa hipertensi paru. Kondisi itu berbeda dari hipertensi atau tekanan darah tinggi yang sudah jamak dikenal. Gejalanya kerap tak terlihat.
Hipertensi paru merupakan kondisi terjadinya peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru, baik pada arteri maupun vena paru. Kondisi itu terjadi karena saluran arteri pulmonal yang membawa darah dari jantung ke paru-paru menyempit atau menebal. ’’Akibatnya, jantung kanan harus bekerja ekstrakeras untuk memompa darah menuju paru,’’ terang Prof Dr dr Bambang Budi Siswanto SpJP (K) FAsCC FAPSC FACC.
Dikatakan mengalami hipertensi paru ketika tekanan darah pada paru menjadi tinggi, rata-rata di atas 25 mmHg saat istirahat. Normalnya, tekanan darah di arteri pulmonal berkisar 8–20 mmHg.
Bagaimana bisa tahu seseorang mengalami hipertensi paru? Sulitnya, sebagian besar gejala-gejalanya tak terlihat dari luar (invisible). Penderita merasa sesak napas, terutama saat atau setelah beraktivitas, mudah lelah dan lemas hingga pingsan, serta begah pada perut kanan. Namun, karena tidak terlalu khas, gejala itu kerap terabaikan. Tak jarang, orang lain tidak menganggapnya serius dan tetap menuntut si penderita mengerjakan tugas dalam kapasitas normal, yang bisa memperburuk kondisi si penderita.
Diagnosisnya baru bisa ditegakkan melalui beberapa tes lanjutan. Di antaranya, rontgen dada, EKG, ekokardiogram, tes darah, tes fungsi paru, dan lung perfusion scan. Apabila tes awal mengarah pada diagnosis hipertensi paru (pulmonary hypertension atau disingkat PH), selanjutnya dilakukan kateterisasi jantung kanan. ’’Kateterisasi merupakan tes yang paling akurat untuk menegakkan diagnosis PH. Sebab, pengukuran tekanan arteri pulmonal dilakukan secara langsung,’’ papar Prof Bambang dari RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dalam Pfizer Press Circle di Jakarta, Kamis (4/5).
Hipertensi paru dibagi dalam dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Primer berarti muncul tanpa sebab yang jelas, sedangkan sekunder dipicu sebab yang jelas. ’’Paling banyak terjadi karena penyakit jantung bawaan yang tidak terdeteksi dan terlambat ditangani,’’ terang Prof Bambang. Selain itu, bisa disebabkan penyakit jaringan ikat, emboli, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), serta autoimun.
Hipertensi paru bukan penyakit menular, melainkan merupakan masalah kesehatan global yang cukup krusial. Lebih dari 25 juta kasus hipertensi paru di dunia, separonya tidak berobat hingga meninggal kurang dari 2 tahun. Prevalensi hipertensi paru di dunia adalah 5–10 pasien per 100.000 penduduk. Dari angka tersebut, setidaknya ada 12.500–25.000 pasien di Indonesia. Namun, Dhian Deliani, pengurus Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), mengungkapkan, di Indonesia data YHPI menunjukkan hanya sekitar 120 pasien aktif dari seluruh Indonesia. ’’Yang tidak terdeteksi dan tidak mendapat pengobatan jauh lebih besar,’’ ucapnya.
Hipertensi paru sering diderita usia muda dan usia pertengahan. Lebih banyak terjadi kepada perempuan. Perbandingan antara pasien perempuan dan laki-laki adalah 2:1. Risikonya makin besar terhadap perempuan. ’’Perempuan yang sudah terdiagnosis hipertensi paru pada umumnya tidak disarankan untuk hamil. Sebab, sangat berisiko untuk kehamilan, baik bagi janin maupun sang ibu,’’ papar Prof Bambang. Tetapi, ketika penyakit sekunder dapat dikoreksi dan tekanan paru turun drastis, kondisi itu memungkinkan untuk hamil.
Ketika hipertensi paru ditemukan saat hamil, akan dilakukan perawatan khusus dan proses persalinannya secara sectio Caesarea. ’’Masa setelah melahirkan juga harus diwaspadai,’’ lanjutnya.
Prof Bambang menuturkan, hipertensi paru merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan rutin dalam jangka waktu lama, bahkan seumur hidup, serta penyesuaian gaya hidup. ’’Hipertensi paru cenderung tidak bisa sembuh total, namun pengobatan yang tersedia dapat membantu mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup,’’ tuturnya. (nor/c19/ayi)
SUMBER :jawapos.com
Hipertensi paru merupakan kondisi terjadinya peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru, baik pada arteri maupun vena paru. Kondisi itu terjadi karena saluran arteri pulmonal yang membawa darah dari jantung ke paru-paru menyempit atau menebal. ’’Akibatnya, jantung kanan harus bekerja ekstrakeras untuk memompa darah menuju paru,’’ terang Prof Dr dr Bambang Budi Siswanto SpJP (K) FAsCC FAPSC FACC.
Dikatakan mengalami hipertensi paru ketika tekanan darah pada paru menjadi tinggi, rata-rata di atas 25 mmHg saat istirahat. Normalnya, tekanan darah di arteri pulmonal berkisar 8–20 mmHg.
Bagaimana bisa tahu seseorang mengalami hipertensi paru? Sulitnya, sebagian besar gejala-gejalanya tak terlihat dari luar (invisible). Penderita merasa sesak napas, terutama saat atau setelah beraktivitas, mudah lelah dan lemas hingga pingsan, serta begah pada perut kanan. Namun, karena tidak terlalu khas, gejala itu kerap terabaikan. Tak jarang, orang lain tidak menganggapnya serius dan tetap menuntut si penderita mengerjakan tugas dalam kapasitas normal, yang bisa memperburuk kondisi si penderita.
Diagnosisnya baru bisa ditegakkan melalui beberapa tes lanjutan. Di antaranya, rontgen dada, EKG, ekokardiogram, tes darah, tes fungsi paru, dan lung perfusion scan. Apabila tes awal mengarah pada diagnosis hipertensi paru (pulmonary hypertension atau disingkat PH), selanjutnya dilakukan kateterisasi jantung kanan. ’’Kateterisasi merupakan tes yang paling akurat untuk menegakkan diagnosis PH. Sebab, pengukuran tekanan arteri pulmonal dilakukan secara langsung,’’ papar Prof Bambang dari RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dalam Pfizer Press Circle di Jakarta, Kamis (4/5).
Hipertensi paru dibagi dalam dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Primer berarti muncul tanpa sebab yang jelas, sedangkan sekunder dipicu sebab yang jelas. ’’Paling banyak terjadi karena penyakit jantung bawaan yang tidak terdeteksi dan terlambat ditangani,’’ terang Prof Bambang. Selain itu, bisa disebabkan penyakit jaringan ikat, emboli, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), serta autoimun.
Hipertensi paru bukan penyakit menular, melainkan merupakan masalah kesehatan global yang cukup krusial. Lebih dari 25 juta kasus hipertensi paru di dunia, separonya tidak berobat hingga meninggal kurang dari 2 tahun. Prevalensi hipertensi paru di dunia adalah 5–10 pasien per 100.000 penduduk. Dari angka tersebut, setidaknya ada 12.500–25.000 pasien di Indonesia. Namun, Dhian Deliani, pengurus Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), mengungkapkan, di Indonesia data YHPI menunjukkan hanya sekitar 120 pasien aktif dari seluruh Indonesia. ’’Yang tidak terdeteksi dan tidak mendapat pengobatan jauh lebih besar,’’ ucapnya.
Hipertensi paru sering diderita usia muda dan usia pertengahan. Lebih banyak terjadi kepada perempuan. Perbandingan antara pasien perempuan dan laki-laki adalah 2:1. Risikonya makin besar terhadap perempuan. ’’Perempuan yang sudah terdiagnosis hipertensi paru pada umumnya tidak disarankan untuk hamil. Sebab, sangat berisiko untuk kehamilan, baik bagi janin maupun sang ibu,’’ papar Prof Bambang. Tetapi, ketika penyakit sekunder dapat dikoreksi dan tekanan paru turun drastis, kondisi itu memungkinkan untuk hamil.
Ketika hipertensi paru ditemukan saat hamil, akan dilakukan perawatan khusus dan proses persalinannya secara sectio Caesarea. ’’Masa setelah melahirkan juga harus diwaspadai,’’ lanjutnya.
Prof Bambang menuturkan, hipertensi paru merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan rutin dalam jangka waktu lama, bahkan seumur hidup, serta penyesuaian gaya hidup. ’’Hipertensi paru cenderung tidak bisa sembuh total, namun pengobatan yang tersedia dapat membantu mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup,’’ tuturnya. (nor/c19/ayi)
SUMBER :jawapos.com
Tidak ada komentar: