Kisah Ibu Tua Digugat Empat Anak Kandungnya


Seorang perempuan yang sudah tua digugat empat anak kandungnya. Ya, si ibu berurusan dengan darah dagingnya sendiri yang dibesarkannya hanya karena harta waris.

IGUN GUNAWAN, Bandung

AWAN hitam menggelayut di langit Kota Bandung Kamis (22/2) sore. Seakan menyertai kesedihan yang tengah dialami seorang ibu berusia 78 tahun. Hj Cicih, demikian warga di Jalan Cipadung RT 01/RW 01 Kota Bandung, Jabar, memanggilnya.

Saat ini nenek yang memiliki lima orang anak itu harus berusuran dengan hukum gara-gara menjual tanah waris tanpa sepengetahuan empat orang anaknya.

Untuk menyambangi kediaman mantan istri prajurit ini memang sangat mudah. Letak rumahnya tak begitu jauh dari Jalan Cipadung, hanya masuk gang kurang dari 10 meter.

Rumahnya permanen dengan cat warna merah muda. Di sebelahnya dipisahkan dengan tembok tinggi merupakan rumah Bidan Iis.

Bidan Iis, tetangga Hj Cicih, yang membeli tanah waris yang dikemudian hari jadi bermasalah.

Rumah yang didatangi itu terlihat sepi, hanya ada pakaian yang menggantung di jemuran halaman samping yang begitu luas.

Ketika menemui Ketua RW 01 yang tanpa sengaja masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan Hj Cicih. Deni Haryana demikian banyak orang memanggil nama ketua RW tersebut.

Dia menyambut baik kedatangan Jabar Ekspres (Jawa Pos Group) yang ingin melakukan konfirmasi secara langsung ke lapangan. Deni juga berharap agar kasus tersebut tidak sampai berlarut-larut.

”Saya pengen, jalan terbaik buat mereka. Hanya sampai dimediasi saja,” ungkapnya.

Deni menceritakan jika sebenarnya dia pernah menyarankan pada Bidan Iis, agar melakukan koordinasi dengan anak-anaknya terlebih dahulu, sebelum tanah tersebut dibeli.

”Saya sebagai ketua RW waktu itu, sebelum jual beli dilaksanakan sempat ngobrol dengan pembeli. Saya sudah kasih masukan ke bu Iis. Bidan Iis saya panggil, saya kasih arahan, saya kasih masukan. Ibu, kalau memang mau beli tanah ini, coba koordinasi dulu dengan anak-anaknya. Saya takut, saya khawatir, dikemudian hari, ini jadi bermasalah. Entah, kenapa dan bagaimana saya tidak ikuti lagi. Ya jadilah jual beli, dan jadinya seperti ini,” ungkapnya.

Tak banyak yang diceritakan Deni, lantas dirinya mengajak Jabar untuk langsung bertemu dengan Hj Cicih.

Di rumah yang kali pertama kami datangi itu terlihat Hj Cicih sedang duduk di teras depan, diatas sebuah tembok yang ditinggikan dengan keramik di atasnya.

Saat memperkenalkan diri, anak bungsunya Alit Karnila menemui kami. Perempuan 46 tahun itu mengajak Jabar untuk berbincang di ruangan tamu.

Suasana di dalam terasa sepi, dari lima orang anaknya itu hanya si bungsu Alit saja yang menemani Hj Cicih. Memang tak banyak yang diungkapkan Hj Cicih, dia lebih cenderung membenarkan apa yang dibicarakan Alit.

Mengawali cerita, dia menyebutkan jika suaminya merupakan pensiunan tentara namun tidak disebutkan dari kesatuan mana.

Sejak suaminya masih tugas, dia memang dilarang untuk mengikuti organisasi. Malah disarankan untuk fokus mengurus ke Lima anaknya.

Sebagai ibu rumah tangga, tentu saja dia mengaku senang karena sangat sayang dirinya pada anak-anaknya. Menurut penuturannya, tidak ada satu dari Lima anaknya itu yang dia beda-bedakan perlakuannya, semuanya sama.

”Ibu nyaah pisan. Lamun teu nyaah mah moal nepi ka garede kitu (ibu sangat sayang. Kalau tidak sayang, mereka tidak akan sampai sebesar itu),” ungkapnya mengawali pembicaraan.

Dia juga menyebutkan jika setiap malam, bahkan sering tahajud untuk terus mendoakan kebaikan kebaikan untuk anak-anaknya.

Puncaknya dia ingin berdoa di Masjidil Haram untuk kebaikan anak anaknya, dan niatnya itu tercapai. Cicih bisa menyambangi Makkah sebanyak empat kali, satu kali berhaji dan sisanya umrah.

”Ibu itu, tidak pernah ketinggalan (salat) tahajud. Untuk mendoakan anaknya,” tambah Alit seolah memperjelas.

Usai menyebut itu, dia pun tak kuasa menahan isak tangis, suasana haru pun terlihat. Dua perempuan berbeda usia itu mencucurkan air mata, mungkin mereka sedih dengan kondisi saat ini yang harus ‘berhadapan’ dengan anaknya. Mereka sudah dibesarkan dengan susah payah.

”Kalau ditanya (cerita) ke belakang, saya pasti nangis. Penderitaan ibu sangat luar biasa saat membesarkan anak anaknya. Dia membesarkan sendiri, karena Abah (sebutan untuk suami Hj. Cicih) sibuk dengan kegiatannya. Abah juga memang tidak mengizinkan ibu untuk aktif di organisasi, karena kata dia cukup mengurus rumah dan anak anaknya. Itu juga sudah cukup, mengabdi ke Negara sama masyarakat,” tutur Alit sambil melap air mata yang berjatuhan di pipinya.

Sebenarnya, kata Alit, ibunya itu hanya menginginkan ke-empat kakaknya kembali akur, untuk bersama sama mengasihi dan membahagiakan ibunya di masa tuanya.

Mendengar itu, Hj Cicih hanya manggut mengamini. Dia pun menyebutkan ke-empat anaknya hanya datang setahun sekali, pada saat lebaran saja.

”Ngan pas lebaran waé. Sataun sakali (Hanya datang pas Lebaran, setahun sekali),” tuturnya.

Cicih juga menerangkan jika harta warisan yang ada pada dirinya itu merupakan warisan dari almarhum bapak Suaminya.

”Bukan harta hasil usaha bapak. Tapi warisan dari orangtua. Karena bapak tidak bisa usaha. Karena hanya mengandalkan gaji seorang prajurit tentara, berapa sih? Sampai sekarang juga kan? Sewaktu ada bapak cuma (digaji) Rp 2.250.000, sekarang (pensiun) tinggal Rp 1,2 juta. Padahal ibu mesti menghidupi delapan orang, udah pada dewasa bukan anak kecil lagi,” ungkapnya.


sumber:https:jpnn.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.