Fadli Zon: Diam-Diam HPP Membunuh Petani


JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan petani di sejumlah sentra produksi padi di Jawa Timur, dan Jawa Tengah, yang sedang melakukan panen raya mengeluhkan jatuhnya harga gabah dan absennya peran Bulog dalam menolong mereka.

Pria yang juga Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (KHTI) itu mendesak pemerintah agar segera meminta Bulog untuk proaktif menyerap gabah petani. “Ini saatnya pemerintah berpihak pada petani," tegasnya, Rabu (28/2).

Menurut dia, Bulog harus difungsikan sebagai lembaga penolong petani melalui kegiatan operasi pasar pembelian gabah petani pada tingkat harga keekonomian yang berlaku.
"Jangan biarkan harga gabah jatuh sehingga petani jadi kehilangan insentif dari pekerjaan yang ditekuninya," ujarnya.

Fadli menjelaskan supaya hal itu bisa dilakukan maka Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras, dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah harus segera diganti.

Pemerintah harus segera mengganti konsep harga pembelian pemerintah (HPP) menjadi kebijakan harga dasar (floor price).

Sejauh ini kebijakan HPP telah membuat Bulog jadi tak memiliki keleluasaan untuk membeli gabah petani pada harga keekonomian yang berlaku.

“Coba bayangkan, harga beras sudah melambung ke Rp 11 ribu hingga Rp 12 ribu per kilogram tapi HPP gabah kering panen yang ditetapkan pemerintah masih ada di level Rp 3.750 per kilogram. Sudah tiga tahun angka itu tak pernah direvisi," ungkapnya.

Sebagai pembanding, di beberapa tempat saat ini harga gabah kering panen (GKP) di pasar sudah mencapai Rp 5.500 per kilogram.

Berdasarkan data IRRI, pada 2016 ongkos yang dikeluarkan petani untuk menghasilkan satu kilogram gabah adalah sebesar Rp 4.079.

"Jadi, HPP adalah kebijakan yang membunuh petani secara diam-diam, karena harga jual ditetapkan di bawah BPP (biaya pokok produksi)," ungkapnya.

Fadli mengatakan dengan kebijakan HPP, Bulog jadi tak bisa menyerap harga gabah petani jika harganya lebih dari Rp 3.750 per kilogram.

Sebab, bila memaksa untuk membeli gabah petani di atas HPP, maka Bulog bisa dianggap melanggar hukum atau dituduh melakukan tindak pidana korupsi.

"Konsep HPP terbukti tidak mendukung upaya menyejahterakan petani. Ini produk kebijakan IMF 20 tahun lalu yang memaksa liberalisasi dan melucuti peran negara," ujarnya.

Fadli menduga, rendahnya daya serap Bulog atas gabah petani selama ini adalah karena belenggu Inpres 5/2015. Tahun ini misalnya, Bulog hanya menargetkan penyerapan gabah petani sebesar 2,7 juta ton.

Padahal realisasi penyerapan gabah tahun 2015 dan 2016 saja angkanya mencapai 2,6 dan 2,9 juta ton. "Gudang Bulog itu isinya kosong melompong, karena mereka tak bisa menyerap gabah petani," ujarnya.

Itu sebabnya HKTI meminta agar pemerintah segera mencabut Inpres 5/2015. Ganti konsep HPP dengan konsep ‘floor price’ (harga dasar). HKTI mengusulkan agar harga dasar gabah ditetapkan di angka 120 persen dari BPP.

Dengan kebijakan ini, petani dipastikan untung 20 persen jika menjual gabahnya ke Bulog. Di sisi lain, gudang Bulog juga dipastikan tak akan banyak menganggur. Cadangan pangan bisa penuh, karena Bulog jadi bisa menyerap maksimal gabah petani.

Saat harga gabah naik melebihi harga dasar, Bulog diberikan instrumen harga pasar. Bulog diberikan keleluasaan untuk membeli gabah hingga batas maksimal tertentu, misalnya Rp 5.500 per kilogram.


sumber:jpnn.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.