Aksi Tolak Valentine Day: Jangan Tukar Cokelat dengan Kehormatan


Ratusan massa yang menamakan diri Mahasiswa dan Remaja Generasi Masjid se-Bogor, mengelar aksi damai penolakan hari Valentine Day yang biasa digelar setiap 14 Feburari. Dalam aksi di kawasan Tugu Kujang itu, mereka mengajak agar memahami perayaan dalam konteks agama Islam.

“Terkait Valentine Day, kita membahas tentang dampaknya, mulai seks bebas hingga sikap yang tidak diridhoi dan tidak diajarkan dalam Islam,” ujar Koordinator aksi damai, Ridho Safifudin kepada Radar Bogor (Jawa Pos Group), Selasa (13/02).

Ridho mengajak masyarakat untuk tidak merayakan Valentine Day, sebab tidak seusai dengan syariat Islam. “Membawa dampak yang buruk bagi masyarakat khususnya generasi muda,” imbuhnya.

Oleh karena itu, warga khususnya umat Islam di Bogor diminta agar mengawasi anak-anak remaja. Sebab kata dia, mereka mulai dilanda demam percintaan mengiring pada Valentine Day.

“Kita bisa memakmurkan masjid, meramaikan masjid. Karena pemuda banyak yang meninggalkan masjid dan sepi dari masjid. Kebanyakan yang tua-tua saja di masjid,” pungkasnya.

Para peserta aksi damai juga membawa poster beragam isi ajakan. Mulai dari ‘Stop pacaran, Islam memuliakan remaja’ sampai tulisan ‘Valentine Day sumber maksiat jangan diterima, I’m Muslim tolak seks bebas’.

Aksi yang digelar sejak pagi kemarin dan ditutup dengan doa bersama itu juga mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian.

Sementara itu di tempat terpisah Kepala Biro Psikologi di Rumah Cinta, Retno Lelyani mengatakan budaya valentine bermuara pada kebutuan seseorang untuk mendapat respon yang baik atau perlakuan yang hangat dari orang lain.

Kasih sayang itu mempunyai pronsip dasar perasaan untuk dicintai atau disukai. “Dalam istilah psikologi disebut dengan istilah kebutuhan afeksi. Karena menjadi kebutuhan,” ujar Retno kepada Radar Bogor.

Afeksi ini kata dia, bentuk kebutuhan cintan dan kasih sayang yang di dalamnya terdapat unsur memberi dan menerima. Dari interaksi yang dibangun oleh antar individu. “Valentine itu budaya barat untuk menyalurkan kebutuhan afeksi itu,” imbuhnya.

Dengan kata lain, menurut Retno, afeksi adalah sikap yang bukan bawaan lahir melainkan buah hasil pengaruh eksternal berupa pertemuan pengalaman dan situasi.

“Karena itu, tradisi memberikan cokelat yang sederhana akan dibalas oleh sesuatu yang istimewa. Karena semua didasari cinta yang sudah terpengaruh oleh budaya lingkungan dan pengalaman seseorang,” paparnya.

Meski demikian, ia menilai budaya valentine tersebut kini telah kebablasan. Bukan hanya di sudut perkotaan, budaya memberi dan menerima dengan dasar cinta ini telah menabrak norma agama maupun adat ketimuran.

“Momen itu kini di isi bukan pada hal yang hasan (baik) tapi pada kegiatan seks bebas, pesta miras dan hal-hal yang negatif,” ucapnya.

Bukan tanpa solusi, menurut Retno, pola pendidikan dalam lingkungan keluarga maupun sekolah menjadi faktor penting. Budaya dialog dan sharing antara anak dan orang atau guru dan murid bisa mengikis budaya yang kini telah menjalar ke perkampungan tersebut.

“Dengan berbagi pengalaman, perlahan pada generasi muda akan tersadarkan. Seperti, tak sebanding lo.. kalau cokelat diganti dengan kehormatan,” tuturnya.

Bahkan, intervensi negera juga dianggapnya menjadi penting. Untuk mempercepat peralihan budaya valentine yang negatif pada yang lebih baik.

“Kalau dihilangkan pasti sulit. Tapi jiga dialihkan dengan kegiatan yang positif sangat mungkin terjadi. Apa lagi para tokoh agama bahkan negara mau melakukan himbauan,” tuturnya.

Hal itu pantas dilakukan oleh negara. Mengingat, efek budaya yang menjadi buntut dari Hak Asasi Manusia kebablasan ini akan merusak moral genari bangsa.

“Urusan moral bangsa tentu sangat penting. Bila generasi bangsa terus dirusak moralnya oleh ritual dari luar yang negatif pasti akan berdampak buruk pada negara juga,” ucapnya


sumber:jawapos.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.