Pelajar Indonesia Jadi Peneliti Termuda dan Wakili Asia Tenggara


Terlibat di riset kolaborasi 20 negara yang didominasi negara maju bukanlah satu-satunya pencapaipan Satria Arief Wibowo. Laki-laki 25 tahun asal Surabaya tersebut juga menjadi peneliti termuda dan satu-satunya dari Asia Tenggara.

’’Mahasiswa PhD lain umurnya rata-rata sudah hampir 30 tahun, dan untuk peneliti senior rata-rata sudah di atas 40 tahun. Memang betul, diperlukan strategi untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dengan kolega yang lebih senior dari kita,’’ papar alumnus FK Unair yang kini menempuh PhD di London School of Hygiene & Tropical Medicine tersebut.

Menurut Satria, di tempatnya semua dinilai berdasarkan kapasitas. Dalam arti, jika seseorang dinilai mampu, usia bukan merupakan hambatan.

Satria ada pengalaman menarik ketika presentasi di kongres internasional IUATLD di Liverpool pada Oktober 2016 yang lalu. Pada sesi presentasi, ternyata dia harus berbicara tepat setelah seorang Associate Professor dari Harvard yang sudah cukup senior. Tentu saja, dia sempat grogi.

’’Namun Alhamdulillah, presentasi saya berjalan baik dan bahkan saya mendapatkan tanggapan dan masukan yang positif dari para pakar setelah presentasi saya. Saya berterima kasih pada teman-teman, kolega, dan tak lupa kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan pada saya,’’ ungkap anak pertama di antara tiga bersaudara pasangan Chairul Siswanto dan Siti Nur Elly Yani tersebut.

’’Untuk riset kami saat ini, juga bekerja sama dengan Korea Selatan, sehingga ada beberapa kolega dari Asia. Namun, saya merupakan satu-satunya dari Asia Tenggara dan Indonesia dalam riset kolaboratif ini,’’imbuhnya.

Selama menempuh studi PhD di Inggris saat ini dan juga waktu Satria mengerjakan riset di Belanda yang lalu, Satria telah berkeliling 26 negara di Eropa dan Afrika, baik dalam rangka presentasi hasil riset di kongres internasional, menghadiri pertemuan untuk kolaborasi riset, mengunjungi beberapa institut serta menjalin relasi dengan sejawat peneliti di Eropa.

Mengunjungi banyak negara-negara di dunia telah membuka mata Satria, akan keberagaman sistem nilai, sosial, maupun budaya yang turut berpengaruh dalam perkembangan pelayanan kesehatan dan kemajuan riset di suatu negara.

Dia contohkan, untuk risetnya kali ini banyak berkolaborasi dengan negara-negara Eropa Timur seperti Romania, Belarussia, dan Lithuania, di mana jumlah penderita TB masih tinggi.

Negara-negara tersebut berada dalam pemerintahan komunis selama beberapa dekade yang lalu, di mana sistem pemerintahan sangat tertutup dan kurang memberikan ruang untuk inovasi.

Sehingga, mereka saat ini kurang maju jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat. Sistem yang tertutup juga membuka peluang untuk praktik  korupsi dan hal ini juga merupakan tantangan tersendiri untuk pelaksanaan risetnya. (ina/tia)
SUMBER : jawapos.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.