Berita Hoax Meraja Lela
Berita bohong atau berita hoax akhir-akhir ini masih menjadi
perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Terlebih lagi di situasi
politik yang tengah memanas menjelang Pilkada DKI Jakarta dan sejumlah
daerah lainnya yang sebentar lagi akan dilakukan.
Publik pun tak tinggal diam. Maraknya peredaran berita hoax
di internet, khususnya di media sosial, akhirnya memicu banyak aksi dari
sejumlah pihak. Salah satunya adalah gerakan "Turn Back Hoax" yang
sedang gencar dikampanyekan.
Banyak desakan pula dari masyarakat agar pemerintah tegas mengatasi peredaran berita hoax di Indonesia. Misalnya, memblokir situs-situs web yang memuat berita hoax.
Tak sedikit yang penasaran, siapa oknum di balik berita-berita hoax itu sendiri? Namun ada juga sebagian pihak yang menjadikan berita hoax ini sebagai ladang bisnis menggiurkan.
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Rocky Gerung, punya
pendapat sendiri. Rocky yang hadir menjadi pembicara di Indonesia
Lawyers Club (ILC) pada Selasa (17/1/2017) lalu menilai bahwa pemerintah
punya andil besar terhadap penyebaran berita hoax.
"Pembuat hoax terbaik adalah penguasa (pemerintah, red.)
karena mereka memiliki peralatan untuk berbohong. Mereka punya
intelijen, data statistik, hingga media. Hanya pemerintah yang bisa
berbohong secara sempurna," kata Rocky sebagaimana dikutip dari tayangan
ILC bertajuk Hoax vs Kebebasan Berpendapat.
Menurut Rocky, dengan membatasi pihak untuk mengemukakan pendapat,
pikiran, dan karyanya, negara ini dinilai bakal menjadi negara totaliter
atau bentuk pemerintahan dengan kekuasaan mutlak. Ia menilai,
pemerintah seharusnya mampu merawat opini publik.
"Bicara LGBT tidak boleh, SARA tidak boleh. Kita bergairah (ingin) memberantas hoax. Tetapi, di saat yang sama kita mengumpankan kemewahan dengan demokrasi pada pengendalian negara," tutur Rocky.
Menanggapi hal di atas, Senior Advisor Knight Consulting
Indonesia Fami Fachrudin mengaku sepenuhnya tak setuju. Ia menilai
setiap orang yang menggunakan internet, memiliki posisi dan kekuatan
yang sama, selama mereka terhubung ke internet.
"Penguasa (pemerintah, red.) itu salah satu pemain saja,
posisi dan kekuatannya sejajar dengan penjual sate. Jika ada 140 juta
akun Facebook di Indonesia, baik itu individu, lembaga pemerintah atau
swadaya, 140 juta akun itu punya kedudukan sama di muka media sosial,"
ujar Fami kepada Tekno Liputan6.com.
Dalam pandangannya, tidak tepat apabila pemerintah disebut demikian
karena pemblokiran situs-situs didasarkan pada mekanisme pelaporan dari
pengguna internet, sehingga dinilai lebih demokratis. "Kalau bicara yang
lebih kuat, siapa saja pemilik akun bisa membayar iklan ke Facebook
sehingga postingan-nya bisa muncul di laman jutaan pemilik akun lainnya," tambahnya.
Ia mengakui pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika
memang memiliki kuasa untuk memblokir situs web. Namun, katanya, situs
yang diblokir akan dengan dengan mudah 'dihidupkan' kembali
dengan alamat yang serupa. Hal ini berkat kemudahan registrasi alamat
situs web.
"Misalnya, situs fulanngawur.com diblokir pemerintah. Setelah itu
dengan cepat akan ada situs-situs lainnya muncul, seperti badungawur.com
dan fulanradangawur.com dengan isi yang sama. Dalam hal ini, kekuasaan
mutlak pemerintah di mana?" tanyanya.
Tak cuma secara online, berita hoax kini dinilai dapat disebarluaskan secara offline
melalui aktivitas keagamaan, seperti mimbar khotbah keagamaan dan
pengajian. Fami menegaskan bahwa ini menjadi bukti pemerintah tidak
berkuasa atas aktivitas offline tersebut.
"Dia (Rocky, red.) luput memerhatikan bagaimana rakyat disuguhi aneka kabar hoax
saat Pilpres 2014 lalu. Tabloid Obor Rakyat dicetak jutaan eksemplar
dan materinya disebarluaskan via WhatsApp dan puluhan situs anti-Jokowi
untuk mengabarkan hoax. Nah, sebagai produsen hoax, mereka bukan pemegang kekuasaan," tandasnya.
Tidak ada komentar: